Thursday, October 27, 2011

Eurosentrisme Dalam Film "Seven Years in Tibet"

 Purwanto, S.S., M.Hum.


Abstrak

Alih-alih berfungsi sebagai media hiburan, film juga dapat menjadi alat propaganda yang sarat dengan kepentingan penciptanya. Melalui media film, beragam narasi dapat disampaikan kepada penonton. Artikel ini membahas 'pesan' yang terkandung dalam film Seven Years in Tibet terkait dengan gagasan orientalisme yang dikemukakan oleh Edward Said. Artikel ini, antara lain, membahas narasi besar yang menempatkan Barat sebagai pusat dan Timur sebagai periferal. Aspek-aspek dalam film yang memperkuat pemosisian tersebut diuraikan dalam tulisan ini.

Kata kunci: film, propaganda, orientalisme, narasi agung

 

Pendahuluan

         Sebuah anekdot tentang Amerika (AS) dan industri filmnya antara lain mengisahkan bahwa AS boleh saja kalah di medan tempur pada perang Vietnam 1959-1975, namun tidak di Hollywood. Artinya, meski AS kalah tempur di Vietnam tapi di layar film AS lah yang memenangkan peperangan tersebut. Peperangan yang dimaksud bukan hanya dalam arti harfiah melainkan juga ‘perang’ yang bersifat diskursif ideologis.

        Hal ini menjelaskan bahwa film selain bisa menjadi medium katarsis, pelarian, dan sejenisnya, juga dapat menjadi medium diskursus yang efektif dari para pembuatnya. Dan tidak berlebihan jika hegemoni perfileman dunia hingga saat ini masih berada di tangan AS dengan Hollywood sebagai motornya. Sebagai sebuah teks, film pun, seperti juga karya sastra, merupakan medium komunikasi yang tidak lepas dari muatan pesan. Seperti pernyataan Heider (1991:1)

Movies are intricately concerned with culture. They are cultural texts,They are cultural statements, communicating messages to huge audiences. Films are cultural carriers, as well, bringing their messages to an entire nation or language area or even the world, although different audiences may read different messages from the same statement. Films in theaters, films on television, films on videocassette – all these films are sending their messages to all these voluntary audiences who watch and listen eagerly,….

        Bagi penonton, muatan pesan dalam sebuah film seperti dikatakan dalam kutipan tersebut memang bisa beragam pembacaannya. Tulisan inipun mencoba untuk memberikan pembacaan dengan ragam pendekatan yang lain yakni pendekatan poskolonialisme terhadap sebuah film produksi Hollywood berjudul Seven Years in Tibet.

        Seperti kita ketahui ketegangan hubungan China-Tibet yang sudah berlangsung lama belakangan ini pecah dalam bentuk konflik berdarah yang menewaskan sejumlah warga sipil Tibet. Insiden yang terjadi menjelang berlangsungnya olimpiade di Beijing tahun ini seolah mengingatkan dunia internasional tentang masalah Tibet dengan status wilayahnya yang terus diklaim oleh China. Reaksi internasional pun bermunculan menyusul insiden berdarah itu termasuk dari AS yang sejak lama memang pro Tibet dan ‘anti’ China, disamping karena kepentingan politis AS yang anti komunis.

       Simpati AS terhadap Tibet bukan hanya ditunjukkan lewat reaksi yang mengecam China atas insiden berdarah itu melainkan juga meluas di kalangan praktisi dan industri film di negeri itu. Hollywood yang sudah menjadi semacam ikon industri perfileman AS seolah juga menjadi perpanjangan tangan Washington dengan teks celluloid nya. Beberapa aktor dan aktris Hollywood dengan terbuka juga ada yang mengungkapkan simpatinya atas apa yang terjadi di Tibet.

        Pada 1997, Hollywood merilis Seven Years in Tibet, salah satu dari film-film yang berkisah tentang perjalanan ke Timur. Film yang disutradarai Jean-Jacques Annaud, asal Perancis, ini mengisahkan perjalanan seorang pendaki gunung asal Austria bernama Heinrich Harrer, yang ‘terdampar’ di Tibet dalam upaya pelariannya dari kamp tawanan Inggris di India Utara semasa Perang Dunia II. Film ini mendapat reaksi keras dari pemerintah China yang lalu menjatuhkan sanksi larangan memasuki China terhadap sang sutradara serta dua aktor dalam film ini yakni Brad Pitt dan David Thewlis.

 Sinopsis

        Dalam film ini Heinrich Harrer, warga Austria, digambarkan sebagai pendaki gunung yang juga pernah mendaki puncak Eiger serta mewakili Austria dalam suatu cabang olahraga di ajang Olimpiade pada masanya. Pada 1939, Harrer bersama beberapa orang termasuk diantaranya warga Jerman, Peter, meninggalkan Austria guna mendaki salah satu puncak di pegunungan Himalaya, Nanga Parbat, yang terletak di dekat perbatasan Nepal dan India Utara.

       Harrer meninggalkan istrinya yang tengah hamil tua demi ambisinya menaklukan salah satu puncak gunung tertinggi di dunia tersebut. Ditengah upaya pendakiannya rombongan Harrer terhambat badai salju dan memutuskan untuk turun dari jalur pendakian menuju jalur yang aman. Pada saat inilah mereka ditangkap tentara kolonial Inggris yang menguasai wilayah India Utara, sehubungan dengan pecahnya Perang Dunia II. 

         Harrer dan timnya ditawan di kamp Dehra Dun, India Utara. Mereka sempat berada di kamp itu selama tiga tahun sebelum berhasil melarikan diri dan tiba di wilayah Tibet. Setelah beberapa tahun berada di Tibet, Harrer bertemu dengan Dalai Lama yang saat itu masih berusia sekitar sebelas tahun. Harrer tinggal di kota Lhasa dan menjadi tutor bagi Dalai Lama hingga akhirnya pulang ke Austria pada 1951.

Aspek Eurosentrisme 

          Asal mula istilah eurosentrisme merujuk pada Eropa di era Renaissance pada abad 14-16 dimana kala itu sedang terjadi kebangkitan seni dan kesusastraan. Pusat acuan karya seni dan sastra di Eropa kala itu ialah karya-karya yang bersumber dari kebudayaan Yunani dan Romawi kuno. Kedua kebudayaan ini memang besar pengaruhnya atas kebudayaan Eropa kontemporer. Isu eurosentrisme sendiri sudah dibahas oleh Edward Said (1978: 97) dalam Orientalism meski istilah yang dipakai Said di bukunya itu ialah europocentrism:

and the anthropocentrism dismantled by Freud are accompanied by europocentrism in the area of human and social sciences, and more particularly in those in direct relationship with non-European peoples. 

         Istilah eurosentrisme sendiri sebenarnya bernada kritik sehingga biasanya jarang digunakan oleh pihak yang dituju oleh kritik itu. Wikipedia menyebut eurosentrisme sebagai cara memandang atau mempersepsi dunia dengan perspektif (bangsa) Eropa dengan kesadaran - dan bawah sadar - bahwa budaya Eropa lebih unggul. Lebih lanjut disebutkan bahwa eforia dan masa kejayaan Eurosentrisme mencapai puncaknya pada abad ke-19. Pada abad ini paradigma humanisme yang diinspirasi oleh kredo Cartesian semasa era Renaissance bergema nyaring. Kredo Cartesian, cogito ergo sum, bersinergi dengan paham humanisme, menempatkan manusia sebagai pusat rasio dan sangat mengagungkan etos prestasi dan pencapaian. Seperti ditulis Leela Gandhi (1998: 45):   

The term ‘humanism’ owes its origins to a secular and anthropocentric cultural and educational program concerned with the celebration and cultivation of ‘human’ achievements.

         Pencapaian manusia dalam konteks penaklukan atas alam menjadi salah satu butir dalam apa yang mungkin disebut sebagai garis-garis besar haluan Eurosentisme bin Humanisme yang antara lain bervisi:   

            The highest value of life lies in the object, or in the acquisition of the object;

One should control and dominate nature; There is a dichotomy, or separateness, between nature and humans; Men should have an unlimited exploitation of the materials around them; Competition, independence, separateness, and individual rights are the key values to which all should strive to achieve. (http://dickinsg.intrasun.tcnj.edu/diaspora/views.html)

         Gema dan bayangan humanisme tersebut tampaknya masih bisa dirasakan antara lain seperti yang terdapat dalam film Seven Years in Tibet. Dalam film ini akan bisa dilihat bagaimana Harrer, baik secara eksplisit maupun implisit, menjalankan butir-butir ‘syariat’ diatas. Eropa melalui tokoh Harrer juga ditempatkan sebagai narasumber pengetahuan kanonik. Dipesh Chakrabarty, dalam Gandhi (ibid: 44) mengkritik apa yang mungkin bisa disebut sebagai ‘ketimpangan epistemik’ antara sejarawan Eropa dan sejarawan dunia ketiga. Menurut Chakrabarty, sejarawan dunia ketiga selalu merasa perlu untuk merujuk pada catatan-catatan atau literatur sejarah Eropa sebagai referensi, sedangkan sejarawan Eropa tidak merasa perlu merujuk literatur dunia ketiga.              

        Ketimpangan semacam itu juga bisa ditemukan dalam Seven Years in Tibet pada relasi yang terjalin antara Harrer-Dalai Lama. Dalam relasi yang tidak setara itu Harrer seperti diposisikan sebagai ‘the agent of knowledge’ oleh Dalai Lama. Dalam konteks ini ada semacam relasi ‘penglainan epistemik’ antara Harrer dan Dalai Lama dimana Harrer sebagai ‘si Lain’ dengan L besar, sedangkan Dalai Lama sebagai ‘si lain’ dengan L kecil.

        Di hampir sepanjang episode film tersebut Harrer tidak pernah bertanya kepada Dalai Lama ataupun warga Tibet lainnya tentang soal-soal yang berkonteks dengan ilmu pengetahuan umum, sejarah, dan sebagainya. Sebaliknya sang Dalai Lama muda yang menunjuk Harrer menjadi tutornya sangat antusias mengajukan pertanyaan-pertanyaan terhadap Harrer dari soal benda bernama elevator hingga bidang geografi serta memintanya untuk membangun studio film di istananya.

Kehadiran Eropa 

        ‘Kehadiran Eropa’ sendiri secara implisit sudah ditunjukkan di awal film Seven Years in Tibet. Film dibuka dengan setting Tibet, menggambarkan suatu prosesi pentasbihan. Pada adegan ini Dalai Lama digambarkan sebagai bocah berusia sekitar 6 tahun yang sedang menerima beragam hadiah dari warga Tibet. Ia menerima salah satu hadiah yaitu sebuah kotak musik yang saat itu membunyikan komposisi yang – di kemudian hari oleh informasi dari Harrer -  ternyata berjudul The Moonlight karya Claude Debussy, komposer Perancis.

        Eropa juga hadir di ruang belajar Dalai Lama belia ketika ia sedang belajar tentang pengetahuan umum menggunakan semacam alat bantu atau media berupa kartu pos. Yang menarik, kartu pos yang dipakai ternyata bergambar pemandangan beberapa landmark kota di negara Eropa, termasuk gambar monumen Arc de Triomphe di Paris, dan ada kartu pos yang bergambar patung Liberty di Amerika.

          Adegan lainnya memperlihatkan Dalai Lama mencoba studio film yang dibangun dengan bantuan Harrer. Dan film yang diputar oleh Dalai Lama adalah film dokumenter tentang penobatan tahta Kerajaan Inggris pada 1937.

Worlding

         Mengutip Edward Said yang antara lain menyebut europocentrism sebagai “a way of worlding the world as Europe”, dalam film yang diadaptasi dari catatan perjalanan Heinrich Harrer inipun terdapat poin yang memosisikan "dunia adalah Eropa" tersebut. Dalam perjalanan menuju pendakian salah satu puncak pegunungan Himalaya, Nanga Parbat, melalui narasi Harrer, disebutkan bahwa orang Jerman menamai Nanga Parbat sebagai Unser Berg yang berarti Gunung Kita (gunung orang Jerman), dan penaklukan puncak gunung ini merupakan obsesi nasional yang dikaitkan dengan harga diri warga Jerman.

Arogansi Barat dan Kearifan Timur

        Saat berada di Lhasa, Harrer dan Peter tinggal di rumah warga lokal. Mereka sempat berkenalan dengan Pema Lhaki, gadis yang juga berprofesi sebagai penjahit pakaian. Berikutnya, kebanggaan Harrer sebagai seorang pendaki gunung didemonstrasikan pada Pema. Harrer juga memamerkan kumpulan kliping berita suratkabar berisi tentang kesuksesan yang pernah diraihnya termasuk keberhasilannya sebagai atlet olimpiade dan pencapaiannya ke puncak gunung Eiger.

     Kesenjangan budaya Barat-Timur muncul disini. Harrer menganggap orang Tibet memiliki pandangan yang sama dengan orang Eropa tentang kegiatan mendaki gunung, namun ia keliru. Bagi orang Tibet, seperti dikatakan Pema, mendaki gunung adalah kesenangan yang konyol. Menurutnya, kultur Barat mengagumi para pendaki yang mampu menaklukkan puncak gunung tertinggi, sedangkan kultur Tibet justru mengagumi orang yang mampu mengesampingkan egonya. Ini seperti menyindir ketiadaan dimensi transendental yang tidak dimiliki oleh Harrer (baca: Eropa) dengan paradigma humanismenya.    

      Pada adegan lain sebelumnya, digambarkan bagaimana Harrer dan Peter mengikuti rombongan warga lokal menuju Lhasa. Namun mereka tidak diperbolehkan karena Lhasa bagi warga setempat merupakan kota suci dan terlarang bagi orang asing. Siasat pun dilakukan Harrer yakni dengan menunjukkan selembar kertas yang disebutnya sebagai surat ijin dari pihak berwenang untuk memasuki Lhasa, padahal itu hanya lembaran kertas berisi daftar perlengkapan P3K dalam bahasa Inggris. Taktik itu ampuh karena warga lokal tidak paham aksara bahasa Inggris. Disini secara implisit ada semacam ‘polarisasi epistemik’ yang sangat kontras antara Eropa dan non-Eropa (Tibet) dikaitkan dengan supremasi pengetahuan yang menempatkan Eropa sebagai superior.

Mimikri terhadap ‘Yang Asing’

      Dalam film ini ada sisipan mimikri ketika Harrer mengadakan pesta natal di Lhasa. Ia pun mengundang warga setempat, memutar musik dansa. Sebuah adegan memperlihatkan seorang warga Lhasa yang mencoba menari mengikuti irama musik asing itu dengan gerakan yang tidak pas. Mengutip pendapat Bhabha seperti tertulis dalam Childs (1997: 131), “Bhabha sees ambivalence expressed in the effects of mimicry as both ‘an appropriation’ and ‘a sign of the inappropriate’,“ maka tarian warga Lhasa itu bisa dibaca sebagai upaya untuk mengadopsi dan menyesuaikan yang asing sekaligus diam-diam mempertegas keasingan itu sendiri.  

<<>> 

  

DAFTAR PUSTAKA  

Childs, P., Williams, RJP (1997). An Introduction to Post-Colonial Theory. Prentice Hall: London

Edgar, A., Sedgwick, P. (ed) (2002). Cultural Theory The Key Concepts. Routledge: New York

Gandhi, Leela (1998). Postcolonial Theory: A Critical Introduction. Allen & Unwin: New South Wales

Heider, Kark G. (1991). Indonesian Cinema: National Culture On Screen. Honolulu: University of Hawaii Press

Said, Edward (1978). Orientalism. Penguin Books.

Catatan Kuliah Reguler Teori Poskolonial, IRB, USD, 2008

Afrocentric vs. Eurocentric Worldviews. (2008). http://dickinsg.intrasun.tcnj.edu/diaspora/views.html.

           

No comments:

Post a Comment